2 Tahun Jokowi-JK, Parlemen Tak Berdaya Hadapi Pemerintah

19:04:00
Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dari kubu koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Joko Widodo - Jusuf Kalla memaparkan visi misi saat Debat Capres - Cawapres bertema Pembangunan Ekonomi, Pemerintahan Bersih dan Kepastian Hukum di Balai Serbini, Jakarta, Senin (9/6/2014) malam. Pemilu Presiden 2014 akan berlangsung 9 Juli 2014 mendatang. 
JAKARTA - Sejak bergabungnya partai politik anggota Koalisi Merah Putih (KMP) yakni PPP, PAN dan Partai Golkar ke pemerintahan Jokowi -Jusuf Kalla, parlemen hampir memuluskan semua kebijakan pemerintah.
Peneliti Forum Masyarakan Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, hilangnya daya kritis parlemen tak lepas dari ketatnya pemerintah Jokowi-JK menjaga konsistensi atas perencanaan dan pelaksanaan program-program yang dijalankan.
Pemerintah mempunyai skema kerja yang cukup rapi berhadapan dengan DPR yang terlalu sibuk memikirkan kalkulasi politik.
"Hasilnya DPR selalu tak berdaya berhadapan dengan pemerintah," ujar Lucius.
Pada saat bersamaan, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat tak bisa secara meyakinkan memberikan bukti atas kerja-kerja mereka.
Ketika akan mengkritisi pemerintah, pada saat yang bersamaan mereka selalu gagal menunjukkan bahwa lembaga itu pantas mengkritik karena mereka belum bekerja dengan baik.
"Belum lagi dengan banyaknya kasus-kasus korupsi dan pelanggaran etis yang membuat DPR sebagai institusi mengalami penggerusan kredibilitas di hadapan pemerintah yang berhasil menyedot simpati publik melalui program-programnya," jelas Lucius Karus.
Pengawasan DPR menjadi mandul, karena parlemen gagal membangun kekuatan lembaga dengan hasil kerja nyata dan teladan hidup yang terpuji.
Lucius Karus juga melihat melempemnya oposisi di parlemen diperparah dengan situasi partai-partai koalisi pemerintahan yang kian pragmatis.
Pragmatisme di tubuh partai-partai koalisi pendukung pemerintahan sangat menonjol ketika Golkar, PPP, dan PAN memutuskan bergabung dengan pemerintah.
"Menyusul keputusan penggabungan mereka, isu yang mencuat adalah permintaan partai-partai itu untuk melakukan reshuffle kabinet kepada presiden sebagai kompensasi atas dukungan yang telah mereka berikan," ungkap Lucius Karus kepada Tribunnews.com.
Nampak begitu pragmatisnya partai-partai tersebut sehingga tak ada konsistensi sikap. 
Berpindah-pindah mengikuti orbit kekuasaan menjadi sesuatu yang seolah-olah wajar.
Lucius Karus mengatakan kondisi itu dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah yang memang mempunyai banyak target.
Pemerintah sangat berkepentingan untuk memastikan target-target mereka tak dihambat oleh sikap perlawanan parlemen yang hampir pasti bisa menggagalkan rencana pemerintah.
"Oleh karena itu pemerintah dengan tangan terbuka menyambut kehadiran Golkar, PAN, dan PPP yang sedang mencari kenyamanan bersama di dalam pemerintahan," tutur Lucius.
Menurut Lucius, pragmatisme ini yang menyebabkan mandulnya pengawasan parlemen. Partai-partai di parlemen tak perlu lagi repot-repot memikirkan rasionalitas program pemerintah selagi mereka diberikan ruang untuk turut serta dalam permainan.
Bahkan agar ruang bermain menjadi kian leluasa, partai-partai pendukung pemerintah ini merasa wajib untuk tampil bak pahlawan yang akan membela habis-habisan program pemerintah.
"Sikap itu kadang mengancam kesolidan partai-partai pendukung pemerintah karena persaingan untuk menjadi pahlawan di mata pemerintah pun menjadi sangat tajam," kata Lucius Karus.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »